Hello Kitty Touching Lip
Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

jangan mudah percaya

tak semua teman bisa kita percaya.... teman yang sudah kita anggap sahabatpun mereka bisa saja menusuk kita dari belakang.... tak ada teman yang ingin melihat kita bahagia.... teman bisa saja mematikan kita. so, berhati-hatilah dengan teman-teman disekeliling kalian.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

DE.NENO


ini DE.NENO band kesuka.an saya... semoga kalian sukses abang2 kece

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

bukti otentik islam


Minggu, 30 September 2012 10:39
http://www.suaramedia.com/images/button/lg-share-en.gif
E-mailCetakPDF

Oleh Khofifah Indar Parawansa

Setiap 21 April lalu, bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Peringatan yang merujuk pada lahirnya Raden Ajeng Kartini, 21 April 1879. Kartini hidup pada zaman ketika kekuatan budaya masyarakat sangat permisif memandang perempuan.
Kartini berani berteriak lantang. Ia berusaha mendobrak kekakuan sehingga lahirlah mainstream paradigma baru terhadap perempuan di Indonesia. Namanya pun hingga kini terus dikenang sebagai bukti perhargaan bangsa Indonesia terhadap perjuangannya.

Kisah perjuangan Kartini ini mengingatkan penulis pada kisah Hajar, istri Nabi Ibrahim AS. Hajar adalah wanita tabah dan ikhlas menerima semua ujian yang Allah berikan. Keikhlasannya menjadi sumber kekuatan dalam berjuang.

Kala itu, Ismail masih menyusu. Mereka hidup di lembah yang tandus. Suatu hari, perbekalan mereka habis, Ismail kelaparan dan kehausan, Siti Hajar lalu mencoba mencari sumber air dengan berlari-lari dari Safa ke Marwah demi anak yang merupakan amanah Allah SWT. (Lihat surah Ibrahim ayat 37).

Sampai suatu ketika, Allah menolong mereka dengan memberikan sumber air yang jernih (zamzam). Hingga kini, kisah Hajar diabadikan dan dikenang oleh seluruh umat Islam di dunia sebagai rangkaian ibadah haji dan umrah (sa'i).

Pengabadian Hajar menjadi bukti otentik bahwa Islam sangat menghargai perempuan. Hal ini tentu menjadi inspirasi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam untuk lebih menghargai perempuan, seperti Islam menghargai perjuangan dan keikhlasan Hajar dalam memperjuangkan keselamatan hidup anaknya, Ismail.

Jika dicermati, masih banyak produk hukum di Indonesia yang diskriminatif dan bias gender. Perempuan sering mengalami tindak kekerasan dan pelecehan seksual, diskriminasi, dan perlakuan sewenang-wenang di dalam keluarga, tempat kerja, dan lainnya. Akibatnya, tak hanya perempuan, anak-anak juga sering menjadi korban.

Dalam menghadapi situasi ini, ada tiga ikhtiar yang perlu dilakukan. Pertama, aspek hukum, dengan meletakkan sistem perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM bagi perempuan dan anak-anak dalam seluruh aspek kehidupan dan perlindungan hak anak dan anak perempuan dari eksploitasi seksual komersial dan tindak kekerasan. Untuk itu, perlu penataan sistem hukum nasional yang berperspektif gender.

Kedua, aspek kesadaran kolektif masyarakat, yaitu dengan menggugah dan membangun kesadaran masyarakat untuk melakukan sosialisasi dan penerapan UU No 7 / 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Ketiga, aspek aksi dan penyiapan prasarana perlindungan korban, yaitu dengan melakukan program aksi nasional penghapusan segala tindak kekerasan terhadap perempuan dan pembentukan pusat rehabilitasi keluarga bagi perempuan dan anak perempuan korban tindak kekerasan dan eksploitasi seksual.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

kiamat kubro dan kiamat ssughro


Kiamat Kubro (Besar) dan Kiamat Sugro (kecil)
Kiamat Kubro (Besar) dan Kiamat Sugro (kecil)
Tahu kan Sob kalau sekarang sedang hangat-hangatnya atau panasnya berita tentang kiamat (Kubro/besar) yang berasal dari prediksi suku Maya yang katanya ahli nujum tersebut? tentu saja pro kontra muncul menggema di seluruh penjuru dunia termasuk Indosesia :D aplagi ditambah dengan munculnya film 2012 yang mengisahkan tentang kiamat nanti ( saya belum ninton :)) waw menambah kengerian berita tersebut dan tambah merinding bulu kuduk ini. Berbagai opini muncul dan mengomentari film tersebut bahkan ada yang melarang nonton film tersebut tapi justru penjualannya laris manis karena memang filmnya lagi booming :D he he he aneh ya?

Tapi ngapain juga kita ngurus berita kiamat beserta film pendukungnya tersebut? toh juga Nabi Muhammad SAW tidak tahu kapan kiamat terjadi, apalagi kita? JANGAN SOK TAHU! Beliau hanya menyampaikan tanda-tanda kiamat melalui banyak hadits beliau. Insya Allah banyak yang shahih dan dapat dipertanggungjawabkan. Tapi kalau melihat tanda-tandanya di jaman ini, banyak yang mirip dengan tanda-tanda tersebut, contoh: lelaki yang kewanita-wanitaan dan wanita yang kelelakian, zina merajalela, hukum rimba, memakai baju seperti tidak memakai baju, dan waktu yang "terasa" pendek serta masih banyak lagi. Tapi ditengah berita hangat dan panas tentang kiamat kubro, sadarkah kita kalau ternyata ada kiamat sugro? atau kiamat kecil seperti musibah dan kematian yang datang tidak diundang dan dijemput dan pergi tanpa diantar karena tanpa pemberitahuan, ya KEMATIAN datang kepada siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Sudah siapkah kita menerima takdir kematian yang menjadi salah satu hal yang ghaib ini?

Kematian pasti datang kepada semua orang, bahkan saat saya ngetik posting ini atau Anda sedang membaca posting ini, pasti ada manusia yang meninggal, entah berapa nyawa dalam hitungan detik yang merenggang dan melayang. Kapanpun kiamat kubro terjadi, kita hanya berdoa semoga kita bukan salah satu orang yang bertemu dengan kiamat kubro ini, aamiin. karena orang yang bertemu kiamat kubro adalah seburuk-burk umat manusia dari jaman Nabi Adam hingga kiamat tiba. jadi kita tidak usah memikirkan kapan kiamat kubro datang? GA PENTING! yang penting SUDAH SEBERAPA SIAPKAH KITA MENGHADAPI MAUT?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Shalat rawatib seperti telah kita pahami bersama adalah shalat yang mengiringi shalat fardhu. Namun ada suatu aturan yang mesti diperhatikan tatkala seseorang ingin melaksanakan shalat yang utama tersebut. Aturan ini dijelaskan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu hendaknya seseorang memisah antara shalat rawatib dan shalat wajib dengan perkataan atau perbuatan lainnya. Berikut keterangannya.
Pembicaraan dalam Hadits
Berdasarkan hadits As Saa-ib bin Yazid bahwa Mu’awiyyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata kepadanya,  “Apabila engkau telah shalat Jum’at, janganlah engkau sambung dengan shalat lain sebelum engkau berbicara atau pindah dari tempat shalat. Demikianlah yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan pada kami. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنْ لاَ تُوصَلَ صَلاَةٌ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
Janganlah menyambung satu shalat dengan shalat yang lain, sebelum kita berbicara atau pindah dari tempat shalat[1].
Ash Shan’ani rahimahullah mengatakan, “Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya memisah antara shalat sunnah dan shalat wajib, jangan kedua shalat tersebut bersambung langsung. Secara tekstual larangan di atas bermakna diharamkan. Hadits ini tidaklah khusus untuk shalat jum’at saja karena perowi berupaya menunjukkan kekhususan hukum itu untuk shalat jama’ah dengan hadits yang bersifat umum mencakup shalat Jum’at dan shalat lainnya.”[2]
Apa Hikmahnya?
Ada yang berpendapat bahwa hikmah melakukan seperti itu agar tidak terjadi keserupaan antara shalat wajib dan shalat sunnah. Ada pula yang berpendapat bahwa melanggar hal di atas merupakan sebab kebinasaan orang-orang terdahulu. Diriwayatkan dari salah seorang sahabat Nabi,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَلَّى الْعَصْرَ فَقَامَ رَجُلٌ يُصَلِّى فَرَآهُ عُمَرُ فَقَالَ لَهُ اجْلِسْ فَإِنَّمَا هَلَكَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ لِصَلاَتِهِمْ فَصْلٌ.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَحْسَنَ ابْنُ الْخَطَّابِ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Ashar, tiba-tiba bangkitlah seorang lelaki hendak shalat lagi. Umar melihatnya, dan langsung berkata, “Duduklah. Sesunguhnya Ahli Kitab binasa karena mereka menyambungkan satu shalat dengan shalat yang lain”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Sungguh baik apa yang diucapkan Al-Khaththab”.[3]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz rahimahullah menyatakan tentang hikmah larangan tersebut, “Karena dengan menyambungnya dengan shalat lain akan mengesankan seolah-olah shalat itu mengikuti shalat yang pertama, dan (larangan menyambung) ini, mencakup shalat Jum’at dan yang lainnya. Namun bila sudah dipisahkan dengan ucapan, atau dengan keluar dari tempat shalat tersebut, atau dengan mengucapkan istighfar, ataupun dzikir yang lain, itu berarti sudah melakukan pemisahan.”[4]
Ash-Shan’ani rahimahullah mengungkapkan, “Para ulama telah menyatakan tentang dianjurkannya bagi seseorang untuk berpindah dari tempat melakukan ibadah wajib ke tempat lain untuk melakukan shalat sunnah, bahkan yang lebih utama lagi bila ia langsung melaksanakan shalat sunnah tadi di rumahnya. Karena melaksanakan ibadah sunnah di rumah itu lebih baik. Atau paling tidak ia laksanakan shalat sunnah di tempat lain di masjid tersebut. Itu berarti ia memperbanyak tempat pelaksanaan shalat”[5]
Telah dikeluarkan oleh Abu Daud rahimahullah dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam),
أَيَعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَتَقَدَّمَ أَوْ يَتَأَخَّرَ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ
Apakah salah seorang di antara kalian tidak mampu untuk sekedar maju, mundur, ke kiri atau ke kanan dalam shalatnya?” (maksudnya untuk shalat sunnah, pen)[6]
Diriwayatkan dengan shahih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu berpendapat bahwa pindah tempat itu disyariatkan dalam shalat sunnah dan shalat fardhu. Bila Ibnu ‘Umar berada di Mekkah lalu shalat Jum’at, terus beliau maju dan shalat dua raka’at, kemudian maju lagi dan shalat empat raka’at. Bila beliau berada di Madinah lalu shalat Jum’at, beliau kemudian pulang dan shalat di rumah dua raka’at, dan tidak shalat di masjid. Ada orang bertanya tentang hal itu. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Demikianlah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[7] Riwayat ini dapat dijadikan sebagai dalil penguat tentang dianjurkannya memperbanyak tempat sujud (shalat).
Kesimpulan
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kita harus memisah antara shalat wajib dan shalat sunnah, yaitu dengan perkataan (seperti dzikir) atau dengan berpindah tempat (di tempat lain di masjid atau di rumah). Di antara hikmah atau alasannya, yaitu:
(1) agar tidak serupa antara shalat wajib dan shalat sunnah, ada pembeda,
(2) untuk memperbanyak tempat sujud sehingga lebih banyak tempat di bumi ini yang menjadi saksi bagi amalan kita di hari kiamat kelak. Alasan kedua ini adalah pelajaran dari firman Allah,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5). Lihatlah bumi menjadi saksi bagi amalan manusia di hari kiamat! Berarti ketika kita berpindah tempat, semakin banyaklah yang menjadi saksi kita nantinya.[8]
Dan bahasan di atas sebenarnya umum untuk setiap shalat sunnah sebagaimana perbuatan Ibnu 'Umar. Namun shalat sunnah yang biasa menyertai shalat wajib adalah shalat sunnah rawatib, maka yang dibahas adalah shalat tersebut.
Semoga sajian singkat ini bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.
- Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat -

My lovely wife request, finished in Riyadh-KSA, 25th Rabi’uts Tsani 1432 H (30/03/2011)
(rumaysho.com)

[1] HR. Muslim no. 883
[2] Subulus Salaam, Muhammad bin Ismail Al Amir Ash Shon’ani, tahqiq: Muhammad Shobi Hasan Halaq, 3/148, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, Muharram 1432 H
[3] HR. Ahmad 5/368. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[4] Shalat Tathowwu’ fii Dhow-i Al Kitab wa As Sunnah, Sa’id bin Wahf Al Qohthoni, hal.44-45, Silsilah Muallafat Sa’id bin Wahf Al Qohthoni
[5] Subulus Salaam, 3/148.
[6] HR. Abu Daud no. 1006 dan Ibnu Majah no. 1427. Shahih kata Syaikh Al Albani.
[7] HR. Abu Daud no. 1130. Shahih kata Syaikh Al Albani
[8] Faedah dari Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS



Apakah shalat sunah rawatib qabliyah subuh sama dengan salat sunah fajar?
Jawaban:
Ya, sama. “Rawatib” adalah bentuk jamak dari kata “ratibah“, yang artinya ‘tetap, terus-menerus’. “Qabliyah” artinya ‘sebelum’. “Salat sunah rawatib qabliyah subuh” merupakan istilah dari para ulama, yang artinya, ‘salat sunah yang tetap dilakukan sebelum subuh’. Karena salat ini dilakukan pada waktu fajar, yaitu setelah azan subuh dan sebelum iqamat subuh, maka dia dinamakan “salat sunah fajar”. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Namun, di dalam hadis-hadis, salat ini disebut dengan “rak’atal fajr” (dua rakaat di waktu fajar, sebelum subuh), sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini,
Aisyah berkata, “Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga sesuatu dari salat-salat sunnah melebihi penjagaan beliau terhadap ‘rak’atal fajr’ (dua rakaat di waktu fajar).” (HR. Bukhari, no. 1163)
Diriwayatkan dari Aisyah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Rak’atal fajar (dua rakaat di waktu fajar) lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” (HR. Muslim, no. 725)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS